Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang secara alami terdapat pada kulit manusia. Bakteri ini dapat berpindah ke makanan melalui kontak langsung, seperti dari tangan yang tidak bersih atau peralatan masak yang terkontaminasi. Namun, bakteri ini umumnya akan mati jika makanan dimasak pada suhu tinggi, seperti saat digoreng atau direbus.
Eka Balgis Talang Jepit, pedagang tempe di pasar tradisional PALI, menyampaikan kekecewaannya atas pemberitaan yang langsung mengaitkan tempe sebagai penyebab keracunan.
“Kami sangat menyayangkan kalau tempe langsung disalahkan. Ini bisa membuat masyarakat takut makan tempe, padahal tempe sudah turun-temurun menjadi makanan pokok yang bergizi dan terjangkau,” ujar Eka kepada wartawan , Rabu (21/5/2025).
Ia menambahkan, kemungkinan besar kontaminasi terjadi setelah proses memasak, bukan pada tempe mentah.
“Masalahnya bukan pada tempenya, tetapi bisa saja pada penanganan setelah tempe dimasak,” tambahnya.
Para pelaku usaha tempe menduga bahwa kontaminasi bakteri terjadi setelah proses penggorengan, terutama dalam tahap distribusi atau penjamahan makanan yang tidak higienis.
“Kami sebagai produsen dan penjual sudah sangat hati-hati dalam proses produksi. Tempe mentah atau fermentasinya harus benar-benar bersih baik dari kacang kedelai maupun dari tangan. Kalau terkontaminasi, misalnya oleh garam atau minyak, tempe tidak akan jadi,” jelas Rika Apriyani, penjual tempe Pasar Tradisional Pendopo Pali.
Rika menambahkan bahwa tempe yang sudah semangit atau hampir busuk masih sering diminta oleh pelanggan untuk diolah menjadi campuran sayur atau masakan lainnya karena masih memiliki peminat tersendiri.
Karena itu, para pelaku usaha meminta agar pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, dan pihak terkait tidak terburu-buru menyalahkan tempe.
“Kami berharap investigasi dilakukan secara objektif dan menyeluruh sebelum mengambil kesimpulan. Jangan sampai masyarakat salah paham dan para pelaku usaha tempe menjadi korban ” tegas Rika.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten PALI, H. Andre Fajar Wijaya, membenarkan bahwa hasil uji laboratorium menunjukkan adanya Staphylococcus aureus dalam jumlah melebihi ambang batas pada sampel tempe goreng yang diuji.
“Secara teori, memang benar bahwa Staphylococcus aureus bisa mengontaminasi makanan dari tangan penjamah yang tidak menggunakan alat pelindung, atau dari peralatan makan yang tidak bersih. Namun, Dinas Kesehatan tidak bisa menyatakan secara pasti kapan kontaminasi terjadi, karena hasil laboratorium hanya menyebutkan keberadaan bakteri tersebut,” jelas Andre.
Ia menambahkan bahwa hasil tersebut dikeluarkan oleh Balai Laboratorium Kesehatan Masyarakat (BLKM) Palembang, institusi resmi yang berwenang dalam pengujian makanan.
Kasus ini telah menimbulkan keresahan di masyarakat serta berdampak langsung terhadap penjualan tempe di sejumlah pasar tradisional di PALI. Para pedagang berharap penanganan kasus ini dilakukan secara adil dan berbasis bukti agar tidak merugikan pelaku usaha secara sepihak.
Posting Komentar